Plakkk...!!!!
Tanpa sadar tangan ini membanting gagang telepon yang ada di meja.
“Kenapa sih mbak? Kasihan teleponenya dibanting kaya gitu! Dia kan ga salah!” Kata-kata yang keluar dari mulut seorang Bapak Muda itu seperti hipnotis yang mampu menghapus Amarah yang ada di hati ini.
“ Maaf pak, baru ada sedikit masalah di Office, jadi kebawa emosi” jawabku lirih.
Aku Laini, 19 tahun, asal Jogjakarta yang merantau ke Ibukota demi mencari materi. Bekerja sebagai Staff PPIC di sebuah Perusahaan yang bergerak di Bidang Security Printing. Bapak Muda itu adalah Bapak Didik Supervisor Mechanical Engineering yang baru bergabung dengan kami. Sebelum bernaung di bawah perusahaan yang sama beliau pernah bekerja di Arab Saudi. Boleh dibilang beliau ini termasuk guru spiritual mungkin. Karena nasehatnya adalah panutanku.
Bagai tanah tandus yang tak pernah disirami air.
tiba turun hujan yang tak henti mengalir.
Tanah itu kemudian subur.
Ibarat Hati.
Setelah sekian lama tak pernah dapat wejangan.
Sejak ada beliau serasa punya bapak baru di perantauan.
Hati ini seperti menemukan Arah hidup dan tak segan menghadapi rintangan.
“ Iya bu, nanti setengah jam lagi Laini update perkembangannya”. Jawabku dengan intonasi suara agak tinggi.
Kemudian dengan ringannya tangan kecilku membanting gagang telepon lagi. Seperti hari sebelumnya, Hati ini masih diselimuti rasa yang tak nyaman. Urusan kerjaan lagi dan lagi membuat hati ini tidak fokus. Berkali kali telepon tak berdosa itu dengan sengaja atau tidak sengaja terbanting oleh tangan ini.
Setiap hariku adalah hampir ditentukan oleh hasil produksi. Kalau Produksi lancar jadwal produksi yang aku buat pasti lancar dan tidak ada masalah. Tetapi kalau produksi ada masalah pasti PPIC yang disalahkan karena tidak bisa memenuhi deadline. Nasib seperti di tangan orang lain. Tapi aku yakin itu semua memang sudah di atur oleh Yang Maha Esa.
Kejadian membanting gagang telepon sudah tidak asing lagi di ruang kerjaku. Membanting buku apalagi. Seorang anak 19 tahun yang sebelumya belum pernah bekerja. Tiba-tiba diberi jabatan dan tanggung jawab yang tidak ringan. Setiap ada masalah di Produksi pasti kemudian dipanggil meeting dengan Bigg Boss (Owner perusahaan). Dia dipercaya sebagai Staff PPIC yang harus membuat jadwal produksi setiap harinya. Pulang larut malam untuk sekedar bikin laporan, Loyalitas, Sedangkan teman yang lain kalau pulang selarut itu dibayar lembur.
-----
Kring .... Kring ... Kringgggg
telepon kembali berdering.
“Hallo “ jawabku lirih. Pasti mau tanya soal Order lagi, kataku dalam hati.
“Laini, gimana? kapan barangnya bisa dikirim? “ terdengar bunyi nyaring di ujung telepon sana. Dari seorang Koordinator marketing
“Ehm.... nanti jam 3 sore Laini telepon balik ya Mba! aku cek ke produksi dulu” jawabku mantap.
“ OK.. jangan lupa yah”
Tuut...tuutt...tuut
Telepon tertutup. Aku tertunduk lesu. Pasalnya setengah jam yang lalu aku baru kembali dari Ruang Produksi dan disana belum ada hasil apa apa untuk dikirim.
“Kenapa mbak? mukanya ditekuk gitu” Tanya Pak Didik yang saat itu ada di Ruangan kerja.
“Biasa pak, masalah produksi. Bapak tau sendiri kan hari ini Produksi ga lancar? Barang minta dikirim nanti jam 4!. Pusing pak!!!” jawabku setengah mengernyitkan dahi.
“ Ya udah mbak ga usah terlalu difikirin, toh kalo emang ga ada hasil apanya yang mau dikirim coba? “
“Iya sih pak, tapi capek aja udah dijelasin kaya gimana pun intinya sekali kirim minta kirim.” nadaku sedikit melas.
“Iya. Tapi kan tanggung jawab Mba Laini kan hanya sekedar menjawab dan sebagai penyalur informasi, selebihnya kalau Marketing kurang puas biar dia sendiri turun ke Produksi.” Kali ini beliau menegaskan intonasi suaranya.
“Siap pak.!” jawabku dengan senyum mengembang.
----
Kurang lebih kejadian seperti itu selalu menghiasi setiap hari kerjaku. Di panggil meeting dan sepulang dari meeting pasti pasang muka yang kurang enak buat disapa atau di lihat. Dan di saat itulah Pak Didik sellau memberi nasehat yang bisa membuat hati ini sedikit senang.
“ Kalau emang udah overload ga usah dipaksakan mbak, minta asisten kalau emang perlu. Pasti dikasih kok asal dengan alibi yang kuat. Mbak itu beruntung dikasih kesempatan sama Allah untuk berhadapan dengan Owner langsung, InsyaAllah keluar dari sini nanti pasti pekerjaan terasa lebih ringan, ga seperti sekarang”
Itu adalah contoh saran Beliau ketika melihat aku keluar masuk ruangan hanya untuk mengambil dokumen kemudian beranjak pergi. Tanpa duduk / sekedar memegang keyboard. Boleh dibilang aku kagum dengan sifat beliau. Selalu memberi nasehat disaat galau menghampiri hati ini. Setiap hari tak lupa melaksanakan Sholat Dhuha tanpa pernah terlewati. Puasa Senin Kamis. Dan yang membuat aku lebih kagum lagi kepada sosok beliau adalah ternyata beliau rela meninggalkan Arab Saudi karena sang Istri lebih memilih dan ingin hidup di Indonesia. \Mantap
Siang itu sehabis istirahat di Ruangan kerja tiba tiba beliau mulai pembicaraan.
“ Mbak itu mbak Wulan pake kerudung cuman di kerjaan aja ya?”
Sedikit obrolan dari beliau. Wulan adalah Admin produksi yang kebetulan tinggal satu kamar denganku di Asrama.
“ Iya pak kenapa? Bapak kapan liat? Kan bapak ga pernah ke asrama” tanyaku heran karena beliau tiba tiba membicarakan Wulan.
“ Ga papa mbak, tapi cantikan kalo pake kerudung ya? kemarin kebetulan paas pulang kerja liat Mbak Wulan keluar nyari makan, sempet ngenalin itu siapa terus tanya maz Arsya itu siapa eh ga taunya itu Mba Wulan kata mas Arsya”.
Aku tersenyum. Arsya adalah anak asrama, anak buah Pak Didik.
“Iya terus kenapa sih pak?” tanyaku masih penasaran.
“Ehmmmm mbak Laini yang waktu itu ikut naik gunung pake kaos merah kan ya? Ga pake kerudung juga?“ tanya beliau agak ragu-ragu.
Deg pertanyaan yang begitu dalam menusuk relung hati ini. Aku tersenyum tipis kemudian menjawab
“ hehehe.. iya pak, kok bapak liat sih?!”
...
Tepat sekali pertanyaan beliau mengena di hati. Pasalnya seminggu sebelumnya aku mengikuti acara anak anak kantor yaitu Mendaki Gunung Gede. Waktu itu adalah masa-masa aku masih belum bisa konsisten memakai Kerudung. Aku hanya memakai kerudung saat bekerja dan keluar Asrama. Selebihnya lepas kerudung. Tersus kenapa waktu pendakian aku memilih tidak memakai kerudung. Malam sebelumnya aku berifkir kalau aku pergi dengan memakai kerudung pasti menyulitkan aku sendiri? Ribet lah. Ga Pewe lah.
Namun ternyata Allah telah mengatur semuanya. Berkat kejadian pendakian itulah jalan Hijabku dimulai.
“Kenapa ga pake kerudung sih mbak kalo keluar rumah? Make kerudung cuman di kerjaan yah? “ Pertanyaan Beliau seperti penyidik yang sedang bertanya kepada tersangka.
“Hemn apa yah pak? Bingung Laini mau jawabnya juga!” hanya itu kata yang keluar dari mulutku sembari otak terus berputar mencari jawaban.
“Mau jawab belum siap? Kalo belum siap belum siap kenapa?" Tanya beliau kembali
Aku hanya terdiam, tak bisa menjawab, otakku serasa buntu dan tidak menemukan jawaban dari serentetan pertanyaan itu.
“bingung pak kalo ditanyain kenapa?” hanya kata itu lagi yang berhasil keluar dari mulutku.
“Segala sesuatu itu kalo ga dipaksa emang susah mbak, kalo ga dimulai kapan bisa terbiasa. Bukannya kalo kerja udah pakai kerudung? Jadi tinggal nutup Aurat pas di asrama sama di.luar kerja kan?”
aku masih diam sembari hati ini mengiyakan.
“Kalo alasannya kerudung, saya mau kok beliin mbak laini kerudung.”
Deg.. kata kata itu mengena di relung hati ini. Bagaimana bisa orang yang ga ada hubungannya sama sekali bisa samppai mau membelika kerdudung agar aku berhijab.
Sesampainya di rumah, kubuka lemari baju yang ada. Ku lirik tumpukan baju yang ada disana. 50:50 antara baju muslim dan bukan. Pikiranku mulai kembali melayang ke kejadian tadi siang. Yah apa salahnya kalau aku berhijab. Setidaknya dengan berhijab aku mulai menutup Aurat.ku. Maka sejak malam itu aku memutuskan untuk berhijab. kemudian Subhanallah berkat berhijab pula aku mampu menjaga kelabilan emosi yang tadinya tak terkendali menjadi lebih terkendali.
Dan tanpa aku bercerita ke Pak Didik, beliau tahu kalau aku berhijab, dapat info dari anak-anak. Ucapan Selamat dan Doa terdengar indah dari mulut beliau dan yang lainnya. Amien semoga dengan berhijab Ilmu dan Ibadahku semakin baik.
Dan kini aku sadar :
“Segala sesuatu itu harus diawali dengan terpaksa, maka selanjutnya akan terbiasa”
Akhir kata MATURNUWUN udah mampir.
Mungkin untuk berhijabnya belum ada niat yang bener - bener bersih dari hati,,,
ReplyDeleteJadi mungkin belum terbiasa, semoga saja Allah memberikan hidayah untuk terus berhijab di dalam atau di luar Kantor :)
Niche blog
Amin... terima kasih atas doa-nya :D
DeleteThis is awesome
ReplyDelete